Misalnya saja, pengetahuan agama yang paling umum dan paling dasar yang kita dapatkan adalah bahwa untuk bisa beriman kepada Allah dengan mudah, terlebih dahulu kita haruslah berhati-hati dengan makana! n, minuman dan pakaian yang kita lekatkan ketubuh kita. Karena makanan dan minuman serta pakaian itu akan mempengaruhi segumpal daging didalam tubuh kita yang disebut sebagai HATI. Terutama, kalau makanan dan minuman kita adalah barang yang baik dan halal, maka dikatakan hati kita juga akan menjadi bersih dan mudah untuk beriman kepada Allah. Akan tetapi kalau makan dan minuman kita dari barang yang haram dan yang tidak baik, maka kita diminta untuk percaya bahwa hati kita pastilah akan hitam, gelap, dan tidak mudah untuk beriman kepada Allah.
Sementara dinegara kita ini, hampir tidak ada wilayah atau area yang benar-benar bersih dari hal-hal yang diharamkan seperti itu. Misalnya semua uang yang beredar saat ini nyaris berasal dari bank convensional, baik dari dalam maupun luar negeri, yang konon katanya itu adalah peredaran uang yang tidak syari. Dan kita membeli makanan, minuman dari hasil peredaran uang yang dianggap sebagai non syari itu. Akhirny! a kita menjadi ragu-ragu kembali dengan kualitas keimanan kit! a kepada Allah.
Dari hal makanan, minuman, dan hati ini kemudian lahirlah berbagai ilmu tentang tata-cara agar kita bisa menyucikan harta benda dan hati kita. Ada fatwa ini dan fatwa itu dari otoritas ulama tentang bagaimana ekonomi ala islami dan bagaimana ekonomi ala kafirin. Ditambah dengan ancaman neraka dan iming-iming syurga, akhirnya kita lebih sibuk mengingat, membicarakan, dan berpolemik dengan istilah-istilah yang dibumbui dengan kata syariah versus non syariah. Kita dipaksa untuk saling bercerita dan berdebat tentang ekonomi syariah versus ekonomi konvensional. Gegap gempita sekali
Disisi lain, agar kita bisa membersihkan hati kita, maka tubuh dan hati tersebut kemudian dibelah-belah orang pula menjadi bagian-bagian kecil dengan nama-nama yang keren, yaitu lathaif. Kemudian lathaif-lathaif itu harus pula kita sucikan dengan dzikir-dzikir tertentu (lihat buku Membuka Ruang Spiritual, by Deka). Maka sibuk pulalah kita bersih-bers! ih hati itu, sehingga kadangkala iman kepada Allah yang kita harapkan malah tidak muncul. Kita jadi sibuk sendiri dengan segala dzikir dan wasilah yang kita lakukan disetiap saat itu.
Untuk melakukan sebuah perbuatan atau aktifitas apapun juga, terutama yang berkaitan dengan agama, pertanyaan standar yang ditanamkan kedalam otak kita oleh para ulama adalah: Ada contohnya nggak dari Nabi?. Ada hadistnya nggak?. Hadistnya shahih nggak?. Dan setelah itu pastilah muncul argumen-argumen yang kadangkala dari dulu, dari zaman ke zaman, rasanya hanya itu ke itu saja.
Baru dari topik sederhana tentang bagaimana agar kita bisa beriman kepada Allah, ternyata telah muncul dengan menggurita topik-topik lain yang sepertinya tidak habis-habisnya untuk kita perbincangkan. Pantas saja akhirnya kita jadi bingung sendiri. Boro-boro iman kita kepada Allah bisa meningkat, malah sebaliknya kita terjerembab kepada ketidak harmonisan hubungan antar sesama muslim, maupun! sesama manusia.
Bersambung
By : Yusdeka Putra

Posting Komentar