Menurut Hyun Sik Kim, salah satu peneliti sekaligus kandidat PhD untuk bidang sosiologi, hasil studi ini mengungkapkan bahwa efek buruk ini biasanya baru terlihat pada saat orangtua memasuki proses perceraian.
"Banyak orang berpikir, pasan! gan yang mengalami konflik internal cukup panas sebelum perceraian, sehingga wajar saja bila anak-anaknya sudah mengalami masalah pada masa itu," papar Kim lebih lanjut. "Namun, ternyata hal ini tidak terbukti. Anak-anak baru mengalami dampaknya setelah perceraian. Meski dampak ini tidak semakin memburuk seiring dengan waktu, tidak ada tanda-tanda juga yang menunjukkan bahwa anak-anak ini akan mengejar ketinggalannya di sekolah."
Kim menyatakan bahwa mata pelajaran yang paling terancam kondisi ini adalah matematika. Kenapa? Menurutnya, belajar matematika itu sifatnya kumulatif. Artinya, anak perlu menguasai tahap per tahap dengan baik agar dapat berkembang. Misalnya, jika anak tidak menguasai pelajaran pertambahan dan pengurangan, ia akan mengalami kesulitan saat belajar perkalian.
Sejauh mana hubungan perceraian dengan kemampuan belajar anak? Kim mengamati bahwa ini lebih berkaitan dengan konsentrasi belajar yang berkurang.
"Ini dapat dipen! garuhi rasa tertekan karena melihat orangtua yang selalu cekco! k atau mengalami stres karena harus bercerai," tutur Kim.
Selain itu, perubahan yang membuat hidup anak-anak menjadi tidak stabil dapat membuat pikiran mereka terganggu, sehingga tidak dapat memusatkan perhatian. Ditambah lagi, orangtua yang bercerai juga kerap kali tidak dapat fokus dalam mengurus anaknya, karena semakin banyak hal yang perlu diselesaikannya sebagai orangtua tunggal. Kondisi tersebut membuat mereka jadi lebih mudah memarahi atau beradu-argumen dengan anak, sehingga juga dapat memengaruhi perkembangan anak. (kompas.com)

Posting Komentar